Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana


Disarikan dari buku ajar hukum pidana Prof. Dr. Andi Sofyan, S.H., M.H. dan Dr. Hj. Nur Azisa, S.H., M.H.


A. Sejarah Asas Legalitas

Asas leglitas dicetuskan oleh seorang sarjana hukum pidana jerman, yaitu Paul Johan Anslem Von Feuerbach (1775-1883) dalam bukunya Lerhbuch des Penlichen recht pda tahun 1801. Menurut Bambang Poernomo, apa yang dirumuskan oleh Feuerbach mengandung arti yang sangat mendalam, dalam bahasa latin berbunyi  "nulla poena sine lege, nulla poena sinepraevia legi poenalli”

Ketiga frasa tersebut kemudian dikembangkan oleh Feuerbach tadi menjadi adagium nullum delictum, nulla poena sine praevia legi poenalli. Menurut Moeljatno, baik adagium ini maupun asas legalitas tidak dikenal dalam hukum Romawi kuno. Demikian pula menurut Sahetapy, yang menyatakan bahwa asas legalitas dirumuskan dalam bahasa latin semata-mata karena bahasa latin merupakan bahasa ‘dunia hukum’ yang digunakan pada waktu itu.


Tahun 1789 asas Nullum Delictum sudah dicantumkan dalam Konstitusi Perancis. Kemudian dicantumkan pula dalam Code Penalnya. Negeri Belanda yang pernah mengalami penjajahan Perancis mencantumkan pula asas tersebut dalam Wetboek van Strafrechtnya melalui Code Penal yang dibawa oleh Perancis. Pada tahun 1915 (mulai berlaku tahun 1918) asas tersebut telah pula dicantumkan dalam KUHP Indonesia yang merupakan jajahan Belanda ketika itu dan sampai saat ini sejak Indonesia merdeka asas legalitas tetap masih berlaku sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP berdasarkan Undang-Undang No.1 Tahun 1946 Jo Undang-Undang Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1968 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Indonesia dan Perubahan KUHP.

B. Makna Asas Legalitas

Secara umum asas hukum merupakan prinsip-prinsip dasar yang menjadi ratio legis pembentukan hukum. Salah satu fungsi asas hukum yakni agar konsistensi tetap terjaga dalam sistem hukum. Asas legalitas di Indonesia secara eksplisit tertuang dalam Pasal1 ayat (1) KUHP : “Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undangundang yang ada terdahulu daripada perbuatan itu”, yang dalam bahasa Latin dikenal dengan adagium : “nullum delictum, nulla poena, sine praevia lege poenali”.

Terkait definisi asas legalitas, kiranya terdapat kesamaan pandangan di antara para ahli hukum pidana antara lain Hazewinkel Suringa, van Bemmelen, van Hattum, Enschede, Jan Remmelink, D. Schaffmeister bahwa pengertian asas legalitas adalah tiada perbuatan dapat dihukum kecuali atas dasar kekuatan ketentuan pidana menurut undang-undang yang sudah ada terlebih dahulu.

Pemikiran sederhana mengenai makna yang terkandung dalam asas legalitas dikemukakan oleh Enschede bahwa hanya ada dua yang terkandung dalam asas legalitas, yaitu: 
1) Sutau perbuatan dapat dipidana hanya jika diatur dalam perundang-undangan pidana. 
2) Kekuatan ketentuan pidana tidak boleh diberlakukan surut. 

Sedang menurut Moeljatno dalam bukunya Azas-Azas Hukum Pidana menyebutkan bahwa asas legalitas mengandung tiga pengertian yaitu:
1). Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang
2). Untuk menenentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kiyas). 
3) Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.

Sebagai konsekuensi logis dari gagasan dasar dan esensi asas legalitas maka asas legalitas melaksanakan dua fungi yaitu fungsi perlindungan (melindung hak individu warga negara dari kesewenangan penguasa) dan fungsi pembatasan (membatasi kekuasaan mutlak penguasa agar tidak sewenang-wenang).

Beberapa ahli hukum pidana berpendapat tentang berbagai aspek dari asas legalitas. Ada pendapat yang menyatakan bahwa dalam tradisi Civil Law System ada empat aspek legalitas yang diterapkan secara ketat yaitu:
1) Peraturan perundang-undangan (law), penuntutan dan pemidanaan harus berdasarkan pada undang-undang. 
2) Rekroaktivitas (retroactivity), undang-undang pidana tidak boleh berlaku surut. 
3) Lex Certa, Pembuat undang-undang harus merumuskan secara jelas dan rinci mengenai perbuatan yang disebut dengan perbuatan pidana, mendefinisikan dengan jelas tanpa samar-samar sehingga tidak ada perumusan yang ambigu. 
4) Analogi, Ilmu hukum pidanan memberi peluang untuk dilakukan interpretasi terhadap rumusan-rumusan perbuatan yang dilarang. Untuk itu dalam hukum pidana dikenal beberapa metode penafsiran, yaitu penafsiran gramatikal (tata bahasa), penafisran logis, penafsiran sistematis, penafsiran historis, penafsiran teologis, penafsiran kebalikan (a-contrario), penafsiran membatasi dan penafsiran memperluas. Salah satu yang dilarang dalam hukum pidanan adalah menggunakan analogi   untuk memberikan makna cakupan perbuatan yang dapat dipidana karena dipandang bertentangan dengan prinsip kepastian hukum. Analogi terdapat bilamana suatu perbuatan yang pada saat dilakukan tidak ada aturan yang mengaturnya sebagai perbuatan pidana tetapi diterapkan ketentuan yang berlaku untuk perbuatan lain yang mempunyai sifat atau bentuk yang sama dengan perbuatan itu, sehingga kedua perbuatan tersebut dipandang analog satu sama lain. 

C. Asas Legalitas dalam Hukum Pidana Indonesia
      
Asas legalitas dalam konstitusi di Indonesia dimasukkan dalam Amandemen kedua UUD NRI 1945 Pasal 28 ayat (1) yang menyatakan "....... hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun". Sedangkan dalam Pasal 28J ayat (2) menyatakan ".....Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atau hak dan kebebasan orang lain....."Selain itu, dalam KUHP diatur dalam Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi " Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang yang ada terdahulu daripada perbuatan itu".

Realita di Indonesia asas legalitas tidak dianut secara mutlak, hal tersebut disebabkan oleh berbagai hal sebagai berikut:
1) Perundang-undangan pidana harus dirumuskan secara tertulis, faktanya di Indonesia hukum yang berlaku meliputi hukum yang dibuat oleh penguasa, hukum adat dan hukum islam. Dalam lapangan hukum pidana selain atas dasar KUHP dan undang-undang di luar KUHP dalam masyrakat adat juga diakui keberlakuan hukum adat pidana yang pada umumnya tidak tertulis tapi merupakan kaidah yang tetap hidup, tumbuh dan dipertahankan oleh masyarakat adat sebagai hukum yang hidup. Pengakuan berlakunya hukum yang tidak tertulis melalui hukum pidana adat ditetapkan dengan Undang-Undang Darurat No.1 Tahun 1951 Tentang Tindakan-Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan Dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil, Pasal 5 ayat (3) sub b Jo Undang-Undang No. 1 Tahun 1961 Tentang Penetapan Semua Undang-Undang Darurat Dan Semua Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Yang Sudah Ada Sebelum Tanggal 1 Januari 1961 Menjadi Undang-Undang sebagaimana diatura dalam Pasal 5 ayat (3) sub b UU Darurat No. 1 Tahun 1951. 
2) Peraturan Hukum Pidana Tidak Boleh Berlaku Surut,  Pasal 1 ayat (2) KUHP yang menyatakan bahwa Jikalau undang-undang diubah setelah perbuatan itu dilakukan maka kepada tersangka dikenakan ketentuan yang menguntungkan baginya. Ini membuktikan bahwa undang-undang dapat diberlakukan surut selama ketentuan undang-undang yang lama atau terdahulu lebih menguntungkan terdakwa, Menurut R Soesilo bahwa lebih menguntungkan meliputi ringannya hukuman, tentang anasir peristiwa pidananya, tentang delik aduan atau tidak, mengenai persoalan salah tidaknya terdakwa dan sebagainya. Demikian pula dalam praktek penegakan hukum kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia Timor-Timur dan kasus Tanjung Priok, asas legalitas disimpangi dengan memberlakukan asas retroaktif. Pasal 43 ayat (1) UU No  26 tahun 2000 menyatakan bahwa pelanggaran HAM Berat yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh pengadilan Ham ad hoc. Ini berarti undang-undang pengadilan HAM berlaku juga bagi pelanggaran HAM Berat yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang tersebut. 
3) Dalam Penerapan Hukum Pidana Tidak Boleh Menggunakan Analogi, Salah satu prinsip asas legalitas yakni bahwa dalam penerapan hukum pidana tidak boleh menggunakan analogi. Analogi adalah menerapkan suatu ketentuan hukum pidana (yang mempunyai kemiripan atau bentuk yang sama) terhadap suatu perbuatan yang pada saat dilakukan tidak ada ketentuan hukum pidana yang mengaturnya. Penerapan analogi menunjukkan ketertinggalan hukum terhadap apa yang seharusnya diaturnya. Salah satu contoh penerapan analogi yang sangat fenomenal dalam sejarah penegakan hukum pidana adalah penerapan analogi oleh hakim Bismar Siregar pada tahun 1983, melalui putusan Pengadilan Tinggi Medan No. 144/ PID/1983/PN/Mdn Bismar Siregar menganalogikan unsur barang yang terdapat dalam Pasal 378 KUHP dengan keperawanan wanita (alat kelamin perempuan atau “bonda” dalam bahasa Tapanuli) dan sekaligus menjatuhkan hukuman 3 tahun penjara. Kasusnya mengenai seorang pria yang bernama Mertua Raja Sidabutar yang berjanji akan menikahi seorang gadis setelah ia melakukan hubungan persetubuhan dengannya, tetapi si pria ingkar janji sehingga sang gadis merasa ditipu. Putusan tersebut menimbulkan pro dan kontra, akhirnya Mahkamah Agung membatalkan putusan yang cukup kontroversial ini.

(Silahkan share/komen jika artikel ini bermanfaat)




Comments

Popular posts from this blog

Bagan Proses Pembentukan Undang - Undang

Kambing dan Hujan